banner

Monday, October 1, 2012

Istilah PKI Masih Membuat Muka Sakerah Memerah




PERISTIWA 30 September 1965 berada jauh di belakang. 47 tahun bukanlah masa yang singkat bagi sebuah generasi untuk tumbuh, berkembang, dan melupakan. Sebab darah yang terlanjur tumpah dan nyawa yang beterbangan tidak mudah begitu saja lepas dari ingatan.

Faktanya, Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga kini masih terstigma hitam. Tap MPR No. XXV Tahun 1966 tentang larangan PKI dan segala anasirnya di Indonesia masih berdiri gagah. Gaung peringatan awas bahaya laten komunisme setiap saat masih berkumandang.

Tidak heran, air muka Supardi alias Ardi Kinco (65), mendadak memerah begitu istilah PKI, Ansor, Militer dan Gestapu kembali disebut. Wajah keriputnya menegang. Sorot mata yang semula tenang tiba-tiba menajam. “Lihat, sepertinya Kang Ardi (Supardi) kurang senang istilah itu (PKI) disebut lagi,” tutur Marjuni (62), adik kandung Supardi.

Supardi merupakan salah satu aktivis Gerakan Pemuda Ansor, badan otonom Nahdatul Ulama (NU) asal Desa Podorejo Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung. Di usianya yang tergolong belia, yakni 18 tahun (1965), pria bertubuh kekar dengan tinggi badan sekitar 170 cm itu, aktif terlibat penumpasan sebuah kaum yang diidentifikasi sebagai anggota PKI.

“Kang Ardi memang anggota Ansor di Desa Podorejo. Dari dulu aktif, termasuk pada saat peristiwa 1965, “ terang Juni menjawab pertanyaan seputar profil kakaknya. Sebagian warga menjuluki anak ke-8 dari 10 bersaudara pasangan suami istri almarhum Paijo dan Jaenah itu sebagai “Sakerah”.

Sakerah atau populer dengan Pak Sakerah adalah seorang pejuang berdarah Madura yang pernah hidup di abad 19. Mandor tebu kelahiran Raci, Kota Bangil, Kabupaten Pasuruan yang secara fisik berkumis tebal dengan tatapan mata yang tegas itu, oleh sebagian warga disamakan dengan penampilan Ardi. Sakerah yang begitu berani melawan kolonial Belanda. “Terutama pakaian dan celana komprang yang dikenakan Kang Ardi serba hitam seperti halnya Sakerah,” terang Juni yang pada tahun 1965 masih berusia 16 tahun.

Keterampilan membela diri, kedalaman olah kanuragan, ditambah tingginya ilmu agama membuat Ardi muda jauh dari rasa takut. Nyalinya begitu besar. Tidak pernah gentar menyambut marabahaya dan kematian.

Semua pengetahuan yang bersifat “pagar diri” itu hasil dari ketekunanya berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu guru ke guru lain serta nyantri kalong dari satu pesantren ke pesantren lain. “Keyakinannya sangat kuat bahwa hidup dan mati hanya Allah yang mengatur. Dulu cukup lama mondok (pondok pesantren) di daerah Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu,” jelasnya.

Jiwa yang tidak gampang gemetar, ditambah fisik yang tinggi besar membuat Ardi ditempatkan di posisi terdepan barisan penumpasan. Oleh pimpinan organisasinya (Ansor) ia ditasbihkan menjadi seorang “algojo”.

Sekedar mengingat. Peristiwa 30 September 1965 meletus di Jakarta. Pada Kamis malam, tepatnya Jumat Legi dini hari, sejumlah jenderal TNI diculik dan dihabisi. Pangkostrad Mayor Jendral Suharto (waktu itu) menyebut peristiwa berdarah itu dengan istilah G 30 S/ PKI atau Gestapu. Sebab PKI dituding sebagai dalang dibalik peristiwa pembunuhan berdarah ini.

Efek kupu-kupu pun terjadi. Peristiwa di ibu kota itu memantik gerakan massa di semua daerah yang menjadi basis atau kantong suara PKI. Konflik horizontal yang memakan banyak korban pun tak terelakkan. Tidak perduli siang atau malam, anggota Ansor mengenakan pakaian serba hitam. Selain sebagai “seragam”, bagi Ansor pakaian hitam sekaligus menjadi simbol siap bertempur hingga titik darah penghabisan.

Di wilayah eks Karasidenan Kediri, ratusan anggota Ansor yang juga santri Ponpes Lirboyo Kediri pertama kali mengenakan seragam hitam. Pemakaian warna gothic itu berlangsung pada hari kelima paska Gestapu meletus di Jakarta (Palu Arit Di Ladang Tebu: 162-163).

Sebagai anggota Ansor yang fanatik dan tidak kenal takut, Ardi pun melakukan hal yang sama. Sepengetahuan Marjuni, kakaknya hanya bertugas melumpuhkan orang-orang PKI yang mencoba melawan saat hendak ditangkap. “Sepengetahuan saya kang Ardi hanya mengikat orang PKI. Sebab tidak sedikit yang mencoba kabur atau nekat mengadu jiwa. Selanjutnya diserahkan kepada Pak Tayib dan Pak Suroso untuk dituntaskan,” terangnya.

Orang-orang PKI itu dijemput paksa di rumahnya. Sepertinya orang-orang yang akan “diambil” tersebut sudah terdaftar dalam data yang bersifat. Mulai anggota partai (PKI), hingga aktivis BTI, Pemuda Rakyat, Lekra, Sobsi hingga CGMI yang semuanya merupakan underbow partai, “dituntaskan”. Dengan tangan terikat mereka dikumpulkan di sebuah tempat yang telah disiapkan.

Marjuni menyebut Desa Trenceng, Desa Sambijajar dan tempat pemakaman umum (TPU) di Desa Domasan Kecamatan Sumbergempol sebagai lokasi pengumpulan orang-orang PKI yang tertawan. Layaknya pesakitan, para penghayat ajaran marxisme dan komunisme itu dibariskan dan diinterogasi.

Dari cerita yang berkembang, karena saking takutnya menjemput ajal, seorang anggota PKI langsung menyatakan tobat. Yang bersangkutan secara spontan mendaras ayat-ayat suci untuk membuktikan diri sebagai manusia yang beragama. Pura-pura atau memang muncul dari kesadaran hati yang terdalam, tidak ada yang tahu. Namun dunia fana sudah menjelma sebagai alam barzah, yang dimana jalan tobat telah tertutup rapat.

“Biasanya eksekusi dilakukan di halaman belakang rumah atau tempat pemakaman umum. Setelah itu jasad orang-orang itu langsung dikuburkan. Setahu saya di sini tidak dibuang di Sungai Brantas,” jelasnya.

Aksi penumpasan itu berlangsung pada musim penghujan. Tidak heran, sejumlah jasad orang-orang PKI yang dibiarkan terlantar tak terurus lebih cepat mengalami pembusukan. Bau tidak sedap yang tersembur dari daging manusia yang digerogoti belatung pun menyeruak ke mana-mana.

Tidak sedikit jasad dengan anggota badan yang sudah tidak lengkap terapung di sepanjang aliran sungai brantas. Sebuah versi menyebut korban peristiwa Gestapu mencapai 1 juta jiwa. Sebuah genocida manusia di tengah peradaban bangsa yang tengah menuju era modernisasi. “Tapi sepengetahuan saya, di Desa Podorejo, orang-orang PKI itu langsung dikebumikan,” tandas Marjuni.


30 Tahun Hidup Dalam Pasungan

Ardi Kinco nampak gelisah. Rancang bangun layang-layang bambu yang berada di tangannya diletakkan. Sebatang rokok ia keluarkan dan lalu disulutnya. Tembakau yang membara tersebut dihisapnya kuat-kuat. Tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikiran Ardi Kinco. Namun yang pasti semu merah yang sempat menguasai wajah berangsur angsur pudar.

“Sudah 30 tahun lamanya Kang Ardi sakit jiwa. Karena takut membahayakan keselamatan orang lain, keluarga terpaksa memasungnya,” tutur Marjuni. Seutas rantai dengan panjang sekitar setengah meter membelit kaki sebelah kiri Ardi Kinco.

Ujung rantai yang lain terikat pada sebuah tiang bangunan yang sedianya menjadi tempat berlindung Ardi dari panas dan hujan. Marjuni menyebut bangunan super minimalis itu sebagai “rumah” Ardi Kinco. Namun melihat keadaanya, rumah itu lebih tepat dikatakan sebagai kandang.

Di dalamnya penuh barang rongsokan yang seharusnya menjadi penghuni tetap pembuangan sampah. Sebuah dipan kecil yang diatasnya tergelar kasur tipis kumal dan kotor menjadi tempat tidur Ardi Kinco setelah bosan berlama-lama terpekur di teras “rumahnya. ”Tidur Kang Ardi “lap-lapan” (tidak nyenyak). Sebentar-sebentar terbangun dan biasanya termenung, “terang Marjuni.

Jiwa yang sepertinya terguncang itu terjadi pada saat Ardi merantau ke Moropinang Sumatera bekerja sebagai buruh kasar di sebuah perkebunan kopi. Ia pergi setelah menyelesaikan tugasnya sebagai “algojo” penumpas kaum kiri.

Tidak ada yang tahu pasti apa penyebabnya, pada tahun ketiga bekerja, prilaku Ardi mendadak berubah aneh. Ia lebih banyak menyendiri. Setiap usai bekerja dimana semua teman-temanya berkumpul, ia memilih menghindari komunikasi.

Puncaknya Ardi kerap komat kamit, berbicara sendiri, mengamuk dan terkadang menyerang orang lain. “Informasi yang diberikan tetangga yang juga bekerja disana, sebelum bertingkah aneh itu, kang Ardi sakit panas tinggi. Katanya kena malaria tropika,” jelasnya.

Karena tidak ingin situasi bertambah buruk, oleh keluarga Ardi Kinco dibawa pulang. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, sepanjang perjalanan naik kereta api, kedua tangan Ardi diborgol. “Saat itu borgol yang digunakan pinjam petugas kepolisian Polsek Sumbergempol,” paparnya.

Melihat ketidakwarasan suaminya, istri Ardi Kinco meminta cerai. Perempuan asal Kabupaten Pati Jawa Tengah itu memilih pulang ke kampung halamanya. Untuk mengembalikan kesehatan jiwa Ardi Kinco, keluarga sempat membawa “sakerah” ke rumah sakit jiwa Lawang. Segala nasihat dan obat yang disarankan petugas medis telah dituruti, namun kesehatan jiwa Ardi Kinco tidak juga kunjung pulih.

“Tidak sedikit biaya untuk berobat. Bahkan tanah milik keluarga sampai terjual habis. Namun kang Ardi tidak juga sembuh. Selama dirawat itu sempat dua kali lepas dan mengancam jiwa orang lain. Sebelum marah dan mengamuk biasanya ditandai air mukanya yang memerah. Karenanya kami memutuskan memasungnya,” tegasnya.

Marjuni diam-diam menyimpan rahasia penyebab sakit jiwanya Ardi Kinco. Dari informasi yang diperolehnya, jiwa kakaknya terguncang setelah terhasut omongan orang-orang Partai Nasional Indonesia pimpinan Ali Surahman (PNI ASU), yakni PNI yang berafiliasi dengan PKI.

Secara implisit, hasutan yang dimaksud itu adalah adanya aksi balas dendam dari orang-orang (PKI) yang ditumpasnya dalam peristiwa Gestapu. “Kang Ardi dikacau orang PNI. Mungkin rasa takut yang berlebihan itu yang membuatnya jadi seperti itu,” pungkasnya.

Sarifatu Jannah (75), kakak Ardi Kinco menambahkan, kini hidup adiknya tidak lebih dari panjang rantai yang membelenggu kakinya. Selain membuat layang-layang, aktivitas harian Ardi Kinco mengasah sabit atau pisau milik tetangga yang meminta bantuannya.

“Biasanya setelah mengasah, adik saya ini (Ardi Kinco) diberi rokok. Sebab jatah tembakaunya setiap bulan bisa habis satu kilogram,” tambahnya.

Sementara Putmainah, 84, mantan Ketua Gerwani Kabupaten Blitar asal Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar justru selamat setelah tertangkap petugas dari Angkatan Darat (AD). Selama tiga tahun lamanya Putmainah bersembunyi di gua bawah tanah di wilayah Blitar Selatan.

Sementara Subandi suaminya yang menjabat sebagai Ketua PKI Kota Blitar diduga lebih dulu terbunuh. “Pada peristiwa itu (Gestapu) suami saya sedang berada di Jakarta untuk memenuhi undangan kongres PKI. Informasinya tertangkap dan tidak tahu lagi kabar kejelasannya,” tuturnya.

Putmainah menuding militer yang berada di balik peristiwa berdarah itu. Namun sebagai manusia, cucu KH Abdurahman, pejuang laskar Pangeran Diponegoro itu telah memaafkan dan melupakan semuanya.

“Saya hidup selama 10 tahun di dalam penjara wanita Plantungan Semarang. Begitu keluar dari penjara, saya sempat mendatangi orang-orang yang dulu memburu saya. Saya jabat tangannya untuk saling memaafkan. Bahwa dalam peristiwa itu semua adalah korban,” pungkasnya.

No comments:

Post a Comment